Bertolt Brecht : Buta Terburuk adalah Buta Politik !

 

Sumber : telusur.co.id, oleh Andre Vincent Wenas

Garudapolitik.com - BUTA yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.”

 Lanjutnya...

Orang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga dan membusungkan mendukung seraya mengatakan bahwa ia benci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kecurigaan kehidupan politiknya lahir mempermainkan, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politik buruk, dan rusaknya perusahaan nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negeri."

Begitu sindir Bertolt Brecht, seorang penyair yang Jerman di abad ke-19 (1898-1956)

Bernas dan tajamnya sosial sang penyair. Kesadaran bernegara, yang dalam pemahaman klasik Aristotelian politik adalah usaha yang dicapai warga negara untuk mewujudkan kritik bersama (bonnum commune).Sayangnya, kesadaran seperti ini belum meluas dan mengakar dalam tradisi kita. Tak bisa dipungkiri masih cukup banyak segmen masyarakat kita yang alergi dengan politik.

Sikap alergi politik ini bisa dipahami. Lantaran minimnya teladan baik dari para politisi itu sendiri. Gejala alergi politik ini harus diakui sudah cukup akut (parah) dan kronis (menahun). Setelah alergi politik muncuk apatisme, sikap pasrah, terserah aja lah...emang gue pikirin? situasi jadi tambah parah dengan munculkan gejala oportunisme politik. Asal ada duit gue pilih deh . Politik uang merebak, membuat kepercayaan pada politik itu sendiri semakin terpuruk.

Baru-baru ini Jakarta kebanjiran. Lalu kritik sosial politik pun meluncur ke arah administrasi pemerintahan daerah. Ada yang setuju, ada pula yang sinis dan bilang, "...sudahlah jangan banyak kritik, ini soal bencana kok, lakukan pertolongan warga dan kirim bantuan saja!" Naif sekali. Dianggapnya banjir ibu kota ini cuma fenomena aksidentalia, tanpa latar belakang yang lebih substantif di kebijakan-kebijakan politik pemerintah daerah sebelum katastropi ini terjadi.

Citra Politik Baik Perlu Dikembalikan

Untuk itu dibutuhkan kekuatan politik baru yang bisa dipercaya untuk mengembalikan politik ke tempat yang baik. Butuh suatu proses konsientisasi (penyadaran kembali) bahwa politik itu sesungguhnya adalah sebuah tugas mulia untuk mewujudkan kebahagiaan bagi semua orang.

Sengkarut politik hari ini harus dikembalikan pada hakekat nilai politik yang sesungguhnya luhur. upaya mendekatkan kembali politik dengan nilai-nilai agar bermanfaat bagi seluruh pikiran dan tindakannya berdasarkan kepentingan yang lebih besar untuk bangsa dan negara Indonesia, bukan kepentingan pribadi jangka pendek.

Untuk itu perlu terobosan. Kita perlu mesin politik baru, kehadiran sebuah pesta politik yang punya visi, misi, program, manajemen, dan strategi yang berbeda dari praktek partai yang lama. Mesin politik baru (Partai) ini harus maju, artinya mampu merespon aspirasi generasi masa depan bangsa yang dalam 10 atau 20 tahun nanti akan menentukan konstelasi perpolitikan Indonesia. Partai baru ini juga harus jadi contoh bahwa kesuksesan dalam politik bisa dicapai dengan cara yang jujur, adil dan transparan. Artinya meninggalkan kebiasaan lama yang selama ini dipraktekan oleh pihak-partai yang ada.

Kriteria

Untuk kondisi bangsa Indonesia yang plural, paling ada empat dasar yang mesti jadi karakter mesin politik baru yang mumpuni, yaitu: kebajikan, keragaman, keterbukaan, dan meritokrasi.

Kebajikan. melihat politik sebagai suatu kebajikan, sumber manfaat bagi kepentingan publik. Sistem demokrasi menugaskan partai politik untuk mendengar dan mengalirkan aspirasi rakyat, termasuk kawah candradimuka tempat lahirnya pemimpin. Maka seluruh orientasi dan kerja politik mesti fokus untuk menggagas dan memutuskan kebijakan publik yang 'bonum commune' (demi kemaslahatan umum).

Keragaman. Berprinsip bahwa Keragaman adalah sumber kekuatan Indonesia. Di dalam keragamanlah, nilai solidaritas yang merekatkan dalam hubungan emosional walau beda agama, etnik, bahasa dan pengalaman sejarah.

Keterbukaan. Prinsip nilai dalam hal relasi eksternal maupun tata laksana pemerintahan. Prinsip inilah yang memungkinkan Indonesia jadi warga dunia. Warga yang setara dan sama-sama berkontribusi terhadap kemakmuran dan perdamaian dunia. Keterbukaan memberi tempat seluasnya untuk kritik dan pembaruan. Nilai dasar adalah landasan untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas tata-kelola pemerintahan.

Meritokrasi. Penerapan sistem meritokrasi di dalam urusan publik akan membawa kita dari jerat korupsi, kolusi dan nepotisme. Mereka yang bekerja keras dan cerdas diberi ruang yang adil dan seluas mungkin untuk berprestasi.

Partisipasi politik yang matang dan bermutu, dalam berbagai bentuk (kritik, saran, ikut pemilu, atau jadi kader, dll) sangat menentukan masa depan bangsa. Citra politik yang mulia pun bisa pulih kembali.

Ingat pesan Bertolt Brecht: Celikan Mata! Pilih dan pilihlah mesin politik atau partai sesuai kriteria di atas. Bebaskan diri dari buta politik!. (AS)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Bertolt Brecht : Buta Terburuk adalah Buta Politik !"

Posting Komentar